Raksasa teknologi Google kembali menjadi sorotan dunia, kali ini bukan karena inovasi terbarunya, melainkan akibat skandal privasi yang berujung pada denda fantastis. Dalam putusan terbaru yang mengejutkan banyak pihak, Google dijatuhi hukuman membayar sebesar $314,6 juta atau setara lebih dari Rp5 triliun oleh pengadilan negara bagian Oregon, Amerika Serikat. Alasannya karena Google terbukti secara diam-diam mengumpulkan data pengguna dari perangkat Android yang sedang dalam kondisi tidak aktif atau idle tanpa sepengetahuan atau persetujuan pengguna.
Masalah ini mencuat dari gugatan hukum yang diajukan pada tahun 2020, yang menuduh Google telah melanggar privasi jutaan pengguna Android dengan tetap melacak lokasi dan data meskipun pengguna telah mematikan layanan lokasi di pengaturan. Lebih parahnya lagi, praktik pengumpulan data ini dilakukan saat perangkat berada dalam keadaan idle atau tidak digunakan sama sekali. Fakta ini membangkitkan kekhawatiran global mengenai bagaimana raksasa teknologi memperlakukan data pribadi kita bahkan saat kita tidak aktif menggunakan perangkat.
Berdasarkan hasil pengadilan, praktik ini tidak hanya dianggap melanggar hukum privasi di negara bagian Oregon, tetapi juga dinilai sebagai tindakan menipu karena tidak memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada pengguna mengenai bagaimana data mereka digunakan. Gugatan ini menyebutkan bahwa Google "secara sadar menyembunyikan dan menyamarkan" fakta bahwa ia terus mengumpulkan data melalui layanan latar belakang dan aplikasi yang berjalan diam-diam di sistem operasi Android.
Kasus ini menjadi pukulan telak bagi citra Google, yang selama ini mengklaim mengedepankan transparansi dan kendali pengguna atas data mereka. Meski Google telah membantah tuduhan tersebut dan mengaku selalu berupaya memperbaiki kontrol privasi, fakta bahwa perusahaan sebesar mereka masih melakukan praktik seperti ini membuktikan bahwa pengawasan ketat dan regulasi yang lebih kuat memang dibutuhkan.
Di sisi lain, putusan ini juga menjadi kemenangan penting bagi para pendukung privasi digital dan hak konsumen. Ini menjadi contoh nyata bahwa perusahaan sebesar apa pun tetap harus tunduk pada aturan, terutama jika menyangkut hak dasar pengguna terhadap data pribadi mereka. Praktik pengumpulan data tanpa persetujuan yang jelas bukan hanya masalah teknis, tapi menyangkut etika dan kepercayaan publik terhadap ekosistem digital.
Baca ini juga :
» Garena Delta Force Versi PC Resmi Hadirkan Turnamen Esports Perdana di Indonesia Bertajuk Scoot Arena
» Persona 5 The Phantom X Resmi Rilis di Asia Tenggara, Hadir di Android, iOS, dan PC
» Free Fire Umumkan Kolaborasi Seru dengan Squid Game untuk Rayakan Anniversary ke-8!
» POCO F7 Resmi Meluncur di Indonesia, Desain Futuristik, Performa Ekstrem, Harga Tetap Ekstrem
» realme C71 NFC dan Buds T200: Kombinasi Sempurna untuk Anak Muda Aktif dan Stylish
» Banyak Website Rugi Besar Karena Rangkuman AI Milik Google
» Meta dan Google akan Menambah Jumlah Kabel Bawah Laut di Indonesia untuk Internet Cepat
» Promo Spektakuler ROG Fest Telah Dimulai! ROG Phone 9 Series Hemat Hingga Rp1,5 Juta
Putusan ini juga membuka pintu bagi gugatan serupa dari negara bagian lain maupun negara-negara lain di dunia yang memiliki undang-undang privasi yang makin ketat. Dengan tren peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan data, tekanan terhadap perusahaan teknologi besar seperti Google, Meta, hingga Amazon tampaknya akan semakin meningkat dalam waktu dekat.
Selain berita utama di atas, KotakGame juga punya video menarik yang bisa kamu tonton di bawah ini.