space
GARENA FREE FIRE DIDUGA GUNAKAN DESAIN AI KREATOR LOKAL TANPA IZIN, PICU PERDEBATAN HAK CIPTA
OL
Rabu, 18 Jun 2025

Makin update dengan berita game dan esports! Yuk subscribe ke channel YouTube KotakGame DI SINI dan Instagram KotakGame DI SINI! Bakal ada banyak FREE GIVEAWAY Diamonds, UC, PS4, gaming peripheral, dan lainnya!

Makin update dengan berita game dan esports! Yuk subscribe ke channel YouTube KotakGame DI SINI dan Instagram KotakGame DI SINI! Bakal ada banyak FREE GIVEAWAY Diamonds, UC, PS4, gaming peripheral, dan lainnya!

Garena Free Fire kembali menjadi sorotan, kali ini bukan karena konten game-nya, melainkan karena dugaan pelanggaran etika terhadap seorang kreator lokal. Kreator AI di balik fenomena "Tung Tung Tung Sahur", yang dikenal melalui akun TikTok Noxa, mengeluhkan bahwa karyanya digunakan dalam game Free Fire tanpa izin maupun kredit yang layak.

Baca ini juga :
» Apple Berencana Mengakuisisi Perplexity Untuk Kembangkan AI di Aplikasi Safari
» Siomay & Mie Kocok Hadir di Selera Nusantara! Chapter Baru Siap Memanjakan Pecinta Kuliner Bandung
» Dibalik Kebangkitan Alter Ego Ares, Rosemary Jadi Jawaban dari Semua Keraguan!
» Operasional Lokapala Dihentikan Sementara, Anantarupa Janji Akan Kembali Lebih Baik
» Update Blood Strike Juni 2025: Hadirkan Striker Baru Lucian, M1887 Shotgun, dan Mode Trinity of De
» eLigue 1 Tour: Turnamen FC Mobile Nasional Bertabur Hadiah dari Ligue 1 McDonald's Resmi Dimulai!
» ONIC Juara FFWS SEA 2025 Spring, Akhiri Dominasi Thailand dan Ukir Sejarah Baru untuk Indonesia
» Banyak Website Rugi Besar Karena Rangkuman AI Milik Google

Dalam unggahan videonya, Noxa menyampaikan kekecewaannya kepada pihak Garena yang disebut telah mengambil desain visual dari unggahannya di media sosial. Ia mengklaim telah mencoba menghubungi pihak Garena, namun tidak mendapat balasan.

"Iya gua tau gak bisa di copyright, tapi minimal etika kek... gua chat gak dijawab? Sekelas game top 1 di Indo??," tulisnya dalam salah satu postingan viral.

Desain yang dimaksud memang dibuat dengan bantuan AI, namun Noxa menegaskan bahwa ia tetap memiliki hak moral sebagai orang yang mengkonsep dan membagikan karya tersebut pertama kali.

Perdebatan Hak Cipta dalam Era AI

Kasus ini langsung memicu perdebatan di media sosial. Beberapa pihak mendukung Noxa, menyebut pentingnya menghormati kreator meski karya dibuat lewat AI. Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa hasil generate AI tidak memiliki nilai hak cipta karena tidak dibuat sepenuhnya oleh manusia.

Memang hingga kini, hukum Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas mengenai kepemilikan karya berbasis AI. Tidak ada Undang-Undang atau pasal yang mengatur siapa yang berhak secara hukum atas gambar, suara, atau karya apapun yang dihasilkan AI. Ini membuat posisi para kreator AI menjadi abu-abu secara hukum—mereka tidak memiliki dasar kuat untuk menuntut pencurian karya, meski secara moral merasa dirugikan.

Kekhawatiran Kreator dan Ketertinggalan Regulasi

Kasus seperti ini menimbulkan kekhawatiran baru di kalangan seniman dan desainer digital. Mereka khawatir bahwa teknologi AI dapat digunakan sebagai alat untuk menduplikasi karya tanpa perlindungan hak cipta yang memadai. Negara-negara seperti Jepang dan Uni Eropa bahkan sudah mulai merancang kebijakan khusus terkait hak cipta dalam karya AI, namun Indonesia belum menunjukkan langkah konkret dalam arah yang sama.

Di tengah polemik ini, pihak Garena belum memberikan pernyataan resmi. Namun tekanan dari publik mulai muncul, meminta agar desain yang diduga diambil tanpa izin itu segera dihapus dari dalam game.

Perlu Regulasi Baru yang Relevan

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pembaruan undang-undang hak cipta yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Tanpa regulasi yang jelas, potensi konflik antara kreator dan perusahaan besar akan terus berulang.

Fenomena "Tung Tung Tung Sahur" hanyalah satu contoh dari gelombang karya digital yang kini bermunculan berkat teknologi AI. Jika tidak diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai, para kreator lokal bisa terus menjadi korban dari eksploitasi digital.

Diskusi mendalam antara pemerintah, komunitas kreator, pelaku industri, dan pakar hukum sangat dibutuhkan untuk merumuskan batasan yang adil dan melindungi kreativitas di era digital.

TAGS

BACA JUGA BERITA INI
close