



Pada era digital yang semakin canggih, teknologi kecerdasan buatan (AI) kini hadir bukan hanya sebagai asisten virtual, tetapi juga sebagai teman bahkan pasangan bagi penggunanya. Munculnya AI pendamping ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai dampaknya terhadap koneksi sosial manusia di dunia nyata. Apakah AI benar-benar dapat meningkatkan keterampilan sosial, atau justru membuat manusia semakin terisolasi?
Kasley Killam, penulis buku The Art and Science of Connection: Why Social Health Is the Missing Key to Living Longer, Healthier, and Happier, berpendapat bahwa meskipun AI mungkin memiliki manfaat sebagai alat untuk melatih keterampilan sosial, teknologi ini seharusnya hanya berfungsi sebagai pelengkap, bukan pengganti interaksi manusia yang sesungguhnya.
Dalam sebuah diskusi di konferensi SXSW di Austin, Killam mengungkapkan skeptisismenya terhadap anggapan bahwa AI dapat meningkatkan keterampilan sosial secara efektif. Menurutnya, perusahaan teknologi AI sering mempromosikan teman virtual mereka sebagai sarana latihan percakapan yang dapat digunakan dalam kehidupan nyata. Namun, ia mengingatkan bahwa hal tersebut tidak boleh menggantikan interaksi langsung dengan manusia.
Is AI making us lonelier instead of more connected? 🤖💬
— Arsenios Efrem (@ArseniosEfrem) March 9, 2025
Social health expert Kasley Killam warns that AI-driven social tools, while comforting at first, may erode real-world social skills.
Here's why a balanced approach is crucial: đź§µ pic.twitter.com/46cJvSMdk5
“Saya ingin melihat dunia di mana orang merasa nyaman dan memiliki kesempatan untuk melatih keterampilan sosial mereka secara langsung,” ujar Killam. Ia menambahkan bahwa jika keterampilan sosial diajarkan di sekolah dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan lebih efektif dalam membentuk kebiasaan sosial yang sehat.
Fenomena penggunaan AI sebagai teman atau kekasih semakin populer. Dalam riset untuk bukunya, Killam menemukan bahwa “ratusan juta” pengguna telah memanfaatkan teknologi ini untuk berinteraksi dengan AI layaknya teman, pacar, bahkan pasangan hidup.
Tren ini semakin diperkuat oleh laporan dari Appfigures, penyedia intelijen aplikasi, yang mencatat bahwa pada tahun 2024, pendapatan aplikasi AI pendamping meningkat lebih dari 652% dibanding tahun sebelumnya. Aplikasi ini berhasil mengumpulkan belanja konsumen sebesar $55 juta dalam satu tahun, dengan Amerika Serikat sebagai pasar terbesar, menyumbang 30,5% dari total pendapatan.
Killam mengakui bahwa tren ini memunculkan dilema. “Di satu sisi, saya merasa prihatin. Mengapa kita sampai menciptakan budaya di mana orang merasa harus beralih ke AI untuk mendapatkan teman? Ini mengkhawatirkan. Tapi di sisi lain, jika AI digunakan sebagai tambahan dari hubungan tatap muka kita, mungkin ada manfaatnya,” ujarnya.
Baca ini juga :» AMD EPYC Embedded 2005 Series: Solusi Prosesor Zen 5 Ringkas dan Efisien untuk AI Generasi Baru
» Awas! Harga HP China Diprediksi Meroket, Bos Xiaomi Beri Peringatan Keras
» ChatGPT dan Duolingo Terancam Diblokir di Indonesia oleh Komdigi
» Krafton Akan Fokus Jadi Perusahaan AI, Infrastruktur Full AI
» OpenAI Ikut Buat Browser Sendiri, ChatGPT Atlas
» Ternyata, AI Juga Bisa Kena Brainrot!
» Microsoft Umumkan Fitur Copilot Agent di Windows 11, Kerja Tinggal Suruh AI!
» Openai Akan Segera Perbolehkan Obrolan R18 Di ChatGPT Mulai Bulan Desember Ini!
Menurut Killam, chatbot AI seperti ChatGPT memang bisa berguna dalam situasi tertentu, tetapi sebaiknya tidak dijadikan satu-satunya sumber interaksi sosial. “Salah satu prinsip utama dalam kesehatan sosial adalah keberagaman sumber. Artinya, kita tidak hanya bergantung pada satu cara bersosialisasi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa interaksi sosial yang sehat melibatkan berbagai elemen, seperti berbicara dengan pasangan, bergaul dengan teman, berdiskusi dengan rekan kerja, hingga sekadar berbincang dengan barista di kafe. Jika AI menjadi salah satu dari sekian banyak sumber interaksi ini, maka penggunaannya masih dapat diterima. Namun, jika AI menjadi satu-satunya cara seseorang bersosialisasi, hal ini bisa menjadi masalah serius.
Selain membahas AI sebagai pendamping virtual, Killam juga menyoroti bagaimana teknologi secara keseluruhan memengaruhi kesehatan sosial. Ia menyinggung dampak media sosial terhadap epidemi kesepian, budaya kerja yang terlalu sibuk, serta kebiasaan masyarakat modern yang lebih sering menghabiskan waktu dengan menggulir layar ponsel atau menonton media daripada berbicara langsung dengan orang lain.
Sebagai solusi, Killam menyarankan untuk lebih aktif dalam menjaga hubungan sosial di dunia nyata. “Alih-alih langsung beralih ke teknologi untuk menghibur diri, cobalah sesekali mengirim pesan atau menelepon teman saat memiliki waktu senggang,” sarannya.
Selain berita utama di atas, KotakGame juga punya video menarik yang bisa kamu tonton di bawah ini.